Selasa, 31 Maret 2009

Tetap Berdakwah Menjelang Persalinan


Proses melahirkan bukan proses sederhana. Selain berjuang melawan rasa sakit saat persalinan, seorang ibu juga mempertaruhkan nyawa. Banyak persiapan menjelang ‘masa silut’ ini, selain kesiapan ruhiyah, kesiapan fisik juga penting. Setidaknya, demikianlah anggapan sebagain para ibu sehingga mereka lebih banyak beristirahat, terutama beberapa hari menjelang melahirkan.

Namun, ini tidak berlaku bagi anggota legislatif perempuan dari PKS asak Kota Yogyakarta ini. Ibu Anis Sri Lestari punya cara berbeda menjemput kelahiran buah hatinya.

Saat itu, kami melaksanakan launching program sekaligus training. Acaranya sedemikian rupa. Ini acara penting. Kami menyiapkannya dengan sungguh-sungguh. Bu Anis, penasihat panitia, selalu mendampingi rapat kami.

Kami sangat berterima kasih atas pendampingan beliau selama kami rapat. Kami tahu masa itu berat karena menjelang kelahiran buah hatinya yang kedua. Usia kandungannya sudah tua. Beliau sering tampak lelah. Apalagi, amanah di dewan yang sedemikiannya.

Oleh karena itu, kami berusaha tidak merepotkan. Sekadar memberi arahan saja sudah lebih dari cukup. Persiapan kami matang. Apalagi, hari H perkiraan melahirkan bagi Bu Anis.

Betapa terkejutnya ketika ternyata, pada hari H, Bu Anis datang ke acara kami! Saya yang ketika itu sedikit lelah naik turun tangga kaget melihat beliau datang dengan senyum khasnya yang penuh semangat.

Kami buru-buru menyambutnya. Salah seorang ibu berkata, “Lho, kok, masih ke sini? Bukannya HPL-nya hari ini?” Pertanyaan tadi mewakili kami.

Beliau tersenyum, “Alhamdulillah, sekarang sudah bukaan empat.”

Kami tercengang. Ya, Allah… bukaan empat masih sempat jalan-jalan!? Bukankah kebanyakan wanita lain sudah ada di tempat persalinan atau mungkin sedang menahan rasa sakit?

Melihat rupa kami, sambil terus tersenyum, beliau berkata, “Tenang saja saya diantar suami pakai mobil, kok. Nanti kalau terasa sakit, bisa segera pulang.”

Tidak hanya itu.

Acara kami di lantai dua. Kami kira beliau akan menunggu di bawah bersama petugas penerima tamu.

Tidak. Hati-hati beliau meniti tangga demi tangga menuju tempat diselenggarakannya acara.

Hati kami dagdigdug melihatnya.

Begitulah rupanya, rasa berat melahirkan tidak menghambat beliau memberikan sumbangsih bagi dakwah.

Bagaimana dengan kita?
(Ari Pusparini/Muthmainnah)

Senin, 30 Maret 2009

Mobil Milik Siapa?


Hari itu di kantor DPD PKS Kota Yogyakarta. Kami baru saja shalat Isya. Beberapa rekan kemudian beristirahat, sedangkan yang lainnya melanjutkan tugas, menyalurkan bantuan untuk korban gempa di Bantul.

Sebulan setelah gempa, kondisi mulai membaik, tetapi masih banyak yang harus dilakukan. Semua kader dan simpatisan PKS Kota Yogyakarta yang tidak tertimpa musibah, wajib bergerak ke Bantul dan membantu proses recovery warga. Praktis, kami beristirahat sekenanya. Bahkan, kadang harus mencuri-curi waktu seperti selepas shalat malam itu.

Saya hendak ikut berbaring di atas tikar bersama teman-teman, tetapi melihat Ustadz Dwi Budi masih duduk-duduk di mushala. Akhirnya, saya mengurungkan niat untuk istirahat dan memutuskan untuk mengobrol bersama beliau. Namun, sepertinya kondisi ustadz tidak fit. Beliau tidak fokus pada obrolan kami. Ada sesuatu yang mengganggu. Saya mengira, ada masalah dengan penyaluran bantuan di Bantul.

“Nggak, nggak apa-apa, kok. Semua lancar,” jawab Ustadz Dwi Budi saat saya tanya.

Saya mengangguk dan kami kembali bercakap-cakap. Tapi lagi, ustadz sepertinya terganggu dengan sesuatu. Akhirnya, saya bertanya lagi, kali ini menanyakan apakah ada keluarga beliau yang sakit.

Kembali beliau menjawab tidak. Istri dan Aisyah, putri beliau, sehat.

Saya mengagguk lagi. Kali ini, kami saling berdiam diri. Saya bingung harus berkata apa, sedangkan Ustadz Dwi Budi sepertinya enggan berkata-kata. Akhirnya, beliau yang memecah keheningan dengan balik bertanya kepada saya “Apa Yoga pernah tahu kalau saya memakai mobil sedan itu untuk mengantar anak?”

Saya bengong, tidak terlalu nyambung dengan pertanyaan beliau. Ustadz pun menunjuk pada mobil yang parkir di jalan depan kantor DPD.

Saya menggeleng. “Memang kenapa, Ustadz?”

“Nggak…” Beliau kembali terdiam, tetapi kali ini tidak lama. “Tadi ada tetangga yang silaturahim ke rumah. Beliau bercerita kalau ada temannya yang mengatakan bahwa saya ini sering memakai mobil sedan itu untuk keperluan keluarga. Untuk antar anak. Nggak Cuma sekalu-dua kali, tapi sering…” Beliau terdiam lagi. Raut wajahnya terlihat keruh, “Padahal seingat saya, kok, saya tidak pernah, ya, pakai mobil sedan itu untuk keperluan keluarga…”

Saya ikut terdiam dan berpikir keras. Kapan, ya, saya pernah melihat ustadz memakai mobil untuk mengantar anak? Setelah lama berpikir dan tidak menemukan jawaban, saya akhirnya bertanya lagi.

“Lha, temannya tetangga itu melihat Ustadz mengantar Aisyah ke mana?”

Ustadz Dwi Budi terdiam lama, semakin termangu mendengar pertanyyan saya. Beliau kemudian mengeluarkan telepon genggam. Dari percakapan yang kemudian terjadi, saya menangkap beliau menghubungi sang bapak tetangga dan menanakan secara rinci cerita temannya.

Saat Ustadz terdiam dan mendengarkan dengan serius. Tiba-tiba, beliau tertawa.beliau bercakap-cakap beberapa saat dengan sang tetangga sebelum akhirnya menutup telepon dan menatap saya.

Seulas senyum tersungging di bibir.

“Alhamdulillah, masalahnya selesai.” Beliau kemudian menjelasakan. “Ternyata, teman tetangga saya melihat mobil sedan itu di sebuah SD. Mengantar anak yang sekolah di sana, katanya. Nggak mungkin yang pakai saya, wong Aisyah blm sekolah. paling mobil itu sedang dipinjam orang lain.” Beliau tertawa kecil. “Sudah, masalah sudah selesai. Sekarang, bisa tidur. Ayo, istirahat dulu. Nanti kerja lagi.”

Beliau lalu membaringkan diri di lantai mushala. Sesaat kemudian, beliau sudah tertidur dengan seulas senyum masih tersungging di bibir.

Tentu, Anda heran dengan kebingungan Ustadz Dwi Budi atas masalah sepele ini. Mobil sedan untuk mengantar anak seharusnya bukan persoalan besar. Namun, bagi Ustadz Dwi Budi, ini menjadi masalah serius.

Dwi Budi Utomo adalah Wakil ketua DPRD Kota Yogyakarta dari PKS. Mobil sedan yang ia maksud adalah mobil dinas Wakil Ketua DPRD Yogyakarta. Saat menerima mobil dinas itu, Ustadz Dwi Budi berjanji pada dirinya sendiri untuk memakai mobil itu hanya untuk urusan-urusan dinas.

Beliau tidak akan pernah memakai mobil itu untuk masalah-masalah pribadi, terlebih untuk “sekedar” mengantar anak. Kalau tidak sedang digunakan untuk keperluan dinas, mobil itu bebas dipinjam oleh rekan-rekan atau tetangga-tetangga yang membutuhkan. Untuk urusan pribadi, beliau selalu memakai kendaraan pribadi, sebuah sepeda motor tua keluaran tahun 1990-an.

Prinsip itu beliau pegang teguh sampai sekarang. Bahkan, mobil yang sama pernah bertualang sampai ke luar pulau karena dipinjam warga yang membutuhkan. Beliau yang memilih untuk mengalah, pergi ke kantor naik kendaraan lain. Saat saya bertanya mengapa beliau mengizinkan mobil ini dibawa ke luar pulau, Ustadz Swi Budi tersenyum dan balik bertanya, “Lha, memang mobil itu milik siapa? Kan, bukan milik keluarga saya…”
(W.D. Yoga)

Minggu, 29 Maret 2009

Apa Saja untuk Rakyat


“Anggota dewan, dokter gigi, supir, makelar rumah, agen KTP, dan tukang jilid proposal,” seru lelaki muda itu dengan mata menyipit karena tawa.

Aku ikut tertawa.

Di tangan lelaki itu bertumpuk proposal dari masyarakat konstituennya yang akan diajukannya. Belum ada proposal itu yang dijilid. Dia yang akan membawanya ke tukang foto kopi.

Sejak pagi dia berkeliling kecamatan, menemui calon proyek kebajikan. Berdiskusi, menemukan titik temu, mencari solusi, dan memberikan motivasi. Dia tidak mau hanya duduk di rumah, menunggu masyarakat mengajukan permintaan.

Hasilnya belasan rencana kerja pelayanan masyarakat. Tangannya memasukkan proposal itu ke dalam tas besarnya. Sepeda motor usang menunggu. Di bawah terik matahari, lelaki itu melaju membawa selaut harapan.

Rahmat Juliadi, anggota legislatif DPRD Sumedang, ke manapun dia datang, riang dan tawa menjadi warna harinya. Tidak ada masalah yang susah jika disampaikan kepadanya. Seberat apapun, dia memiliki cara meringankan beban.

Warga kesulitan mendapatkan KTP karena tidak memiliki surat pindah dari kedutaan besar luar negeri, telah berupaya ini dan itu tetapi kendala administrasi selalu menghalang. Rahmat lalu membawa formulir KTP itu ke Kepala Desa, menjelaskan masalah dan meminta saran pemecahannya. Dia bahkan menjadikan dirinya jaminan saat aparat desa khawatir warga yang bersangkutan bukan orang yang baik-baik.

Berkali-kali masyarakat membutuhkan mobil dan supir untuk membawa ibu hamil atau warga ke rumah sakit. Rahmat menyediakan waktu dan dirinya.

“Satu-satunya mobil yang berani kita pinjem dan hampir selalu ada, ya, mobil Pak Rahmat, teh,” kata ibu komplek.

Sepagi Sabtu itu, dia mengantarkan satu keluarga ke rumah sakit. Siang minggu dia menjemput salah seorang ibu dari rumah sakit Al-Islam sehabis melahirkan. Pada sore Sabtu yang lain, dia mengantarkan keluarga yang lain ke rumah sakit yang lain. Baru pekan lalu dia menawarkan diri dan mobilnya untuk mengantarkan seorang nenek warga Citali yang sakit parah ke RS Sumedang.

“Kata anak-anak, abi, mah, sibuk wae,” Amie, istri Rahmat, berujar sambil tersenyum.

Di tengah kesibukan yang berjibun, dia masih menyempatkan diri mencarikan informasi rumah kosong bagi yang membutuhkan. Karena dia anggota legislatif, orang berharap dia juga pusat informasi. Termasuk informasi rumah kosong dan calon penghuni rumah.

“Nggak ada masalah, lah, itu.” dia mengibaskan tangan, menolak anggapan bahwa dia telah meringankan kehidupan banyak orang.

karena dia dokter gigi, Rahmat teramat sering kedatangan warga yang sakit gigi dan minta dirawat. Walaupun tidak membuka praktek di rumahnya, dia melakukan pertolongan perawatan gigi darurat di sana.

“Baru dari pak dokter, nih,” kata Ummu Nizar sembari menggendong anaknya malam itu.

“Ada apa, ummi?”

“Nizar sakit gigi. Karena sudah malam, menelepon pak dokter saja. Sama pak dokter disuruh bawa ke rumah. Barusan pak dokter mencabut gigi dik Nizar.”

“Pak dokter, ada, ya?” pikiranku ingat dengan kesibukannya yang luar biasa.

“Nggak ada, sih, tadinya. Tapi pas ditelpon, pak dokter bilang akan pulang dan meminta kita menunggu jika saat datang beliau belum ada.”

Aku mengangguk-angguk. Berapa biaya perawatan supercepat dan personal ini?

“Gratis. Wah, pak dokter nggak mau dibayar. Malah dik Nizar yang dikasih hadiah.”

Ummu Nizar lalu menceritakan pengalamannya yang lain berobat gigi dengan pak dokter Rahmat.

“Beliau nggak pernah mau dibayar,” tekan Ummu Nizar bersemangat.

Hatiku terasa ringan. Ah, luar biasa.

Baru kemarin istri Rahmat cerita. Rahmat mengajari istrinya bahwa pekerjaan dewan bukan “pekerjaan”. Waktu di dewan adalah masa melayani masyarakat. Uang yang didapat dari dewan tidak dijadikan sumber kehidupan. Rahmat menjatah dana keluarga, dan Amie diminta mengaturnya supaya cukup. Mereka berdua sepakat uang yang didapat dari pekerjaan sebagai anggota legislatif dikembalikan kepada masyarakat dalam berbagai bentuk.

“Pak Rahmat nggak pernah tega mengambil uang dari masyarakat. Begitu banyak yang membutuhkannya,” terang Amie.

Rumah Rahmat memang dikenal masyarakat sebagai tempat mencari bantuan. Ada yang kehabisan uang di jalan, singgah, dan minta tolong. Banyak yang meminjam uang dan tidak mampu mengembalikannya. Ada yang memerlukan uang untuk membayar sekolah. dari berbagai daerah, orang menemukan dirinya di depan pintu Rahmat.

“Pokoknya, mah, jika ada yang minta-minta bantuan, kita suruh ke rumah pak Rahmat saja,” cetus seorang kader PKS.

Rumah Rahmat banyak pengunjung.

“Bagi kita, Mun, posisi aleg bukan untuk cari maisyah (penghasilan). Sedapat mungkin uang dari dewan bukan untuk kepentingan keluarga. Pak Rahmat memberikan uang belanja kepada saya. Plus gaji saya. Alhamdulillah berlebih.” Binar mata Amie seperti bintang.

Mata saya berembun.

Sepeda motor itu… sudah sedemikian tua dan jelek… apalagi untuk seorang aleg yang dokter gigi.
(Muthmainnah)

Negeri yang Jauh


Kami baru saja meluncurkan sebuah buku Sangatta, sangat banyak cerita. Pasalnya, sebagian besar orang kalau ditanya tentang Sangatta, mereka akan mengatakan bahwa Sangatta itu kota kecil yang jauh di tengah hutan. Gambarnya tidak ada di peta kecuali setahun terakhir ini.

Masih untung ada jalan darat meski rusak parah dan orang menyebutnya broken hard way. Tujuh jam perut kita teraduk-aduk menempuh jalan ini dari bandara Sepinggan yang menghubungkan Balikpapan dengan kota-kota besar lainnya. Airnya hitam atau coklat berminyak, khas air rawa yang perlu diwasapadai karena menyimpan monster buaya.

Kata “Sangatta” sendiri katanya diartikan sangat menderita. Mengerikan sekali! Saya bertanya-tanya, kalau sudah tahu keadaan seperti itu, mengapa begitu banyak orang datang dan bertahan di kota ini belasan tahun?

Hidayah, itulah kebahagiaan yang setiap orang tidak mau melepasnya. Rupanya itu pulalah yang membuat orang dapat melihat sisi lain kehidupan sehingga dapat berkiprah lebih produktif. Dalam kebahagiaan menerima sesuatu dari Allah atau dari orang lain, terkandung sebuah energi yang sangat besar untuk memproduksi kembali kebaikan itu menjadi berlipat ganda dan mampu menyebarluaskannya.

Itulah yang saya rasakan ketika tinggal di gang famili, Sangatta Utara. Saya bertanya kepada ibu-ibu tentangga saya, bagaimana perasaannya selama tinggal di sini.

“Bersyukur, mbak Ika. Saya ketemu PKS di sini. Meski orang bilang kita ini di tengah hutan, namanya hidayah Allah, subhaanallah. Benar itu, Mbak. Nggak cuma saya. Kami-kami ini baru berjilbab di sini. Baru mulai mengaji di sini. Bahkan, mulai berumah tangga islami juga di sini. Makanya, kalau libur cuti ke Jawa, nggak betah lama-lama,” kata bu Yanti Ali.

Oh, ada satu tanda tanya yang kini terjawab. Pantas saja pada setiap kegiatan PKS begitu banyak orang yang antusias datang mengikuti. Bahkan, majelis-majelis taklim dan liqo’-liqo’ berkembang banyak. Baru beberapa hari tinggal di sini, saya berpapasan dengan seorang ibu di dekat gerbang komplek.

“Mau ngisi liqo’, mbak Ika, atau mau ngaji liqo’?” maklum, wajah baru saya lebih mudah dikenali.

“Oh, enggak, kok. Mau ke rumah bu Vadillah Bumi Etam, ada urusan biro psikologi.” Sedikit risih saya menjawabnya sebab ketika saya masih di Yogya pertanyaan tentang liqo’ tidak begini terbuka.

Atau ketika di kendaraan umum saya bertemu dengan seseorang, “Ibu yang ngisi acara di Darussalam kemarin, ya? Ibu, murobbi, ya? Binaannya berapa kelompok, Bu? Wah, saya salut sekali. Saya mau ngaji dulu biar nanti juga bisa jadi murobbi.”

Hmm, saya mengangguk-angguk mendengar pertanyaan dan pernyataannya yang bertubi-tubi. Inilah model pengajian khas PKS. Pembinaan itu mengena sampai ke hati dan mengubah gaya hidup masyarakat menjadi lebih santun, mencintai ilmu, dan peduli terhadap sesama.

Beberapa bulan di Sangatta, saya merasakan kerinduan yang begitu rupa, ingin mendengarkan taujihUstadz-ustadz PKS sebagaimana dulu sering saya dengarkan saat di Yogya. Di tempat yang jauh ini, siapa yang akan mampir? Hingga suatu malam PKS Kutim menyelenggarakan tabligh akbar yang menghadirkan ustadz dari Jakarta. Ada keributan kecil dengan suami karena saya bertahan ingin ikut sampai selesai, sedangkan beliau sedang sakit. Termasuk ketika ada informasi bahwa akan ada pengajian dengan Ustadz Anis Matta di kantor PKS. Wah! Semua orang bergairah. Anis Matta yang selama ini bagi orang Sangatta hanya bisa dilihat di TV dan terasa akrab karena beliau berasal dari Makassar, kota yang banyak penduduknya hijrah ke sini. Bahkan, ustadz Sabaruddin, anggota DPRD II Kutai Timur dari PKS adalah ustadz beliau semasa masih kuliah.

Kami berbondong-bondong dan tertawa bersama ketika menyadari kreatifnya pengurus DPD PKS mengundang kami. Ternyata, ustadz Anis Matta ada di layar viewver yang disorotkan dari laptop.

Katanya, “ini rekaman taujih ustadz Anis Matta untuk masyarakat Kutai Timur.”

Saya tidak kuasa menahan air mata.

Subhaanallah, betapa sapaan ketulusan pada kader PKS itu mampu menyulut semangat hidup orang-orang yang berada jauh dari hiruk pikuk perebutan “kepentingan” di negeri ini. Mereka mampu menjadi pengubah di masyarakatnya meski kecil dan jauh tidak terdengar.

Suatu hari, seorang geologis sebuah perusahaan tambang batu bara terbesar kedua di dunia yang beroperasi di Sangatta mengatakan kepada saya. “Saya bersyukur sekali bisa ikut liqo’ di sini. Dulu awalnya teman-teman menertawai saya. Waktu dia menelepon, saya sedang liqo’. Jadi, ketahuan deh, kalau saya ikut liqo’. Mereka belum tahu kalau liqo’ itu ternyata sangat menyenangkan dan bermanfaat. Saya sebenarnya diterima di tambang Berau dan Sangatta. Saat memilih, saya tanya teman-teman dulu. Katanya pilih Sangatta saja, rasakah sendiri nanti. Ternyata benar. Kalau ceritaan dengan teman-teman, PKS di Sangatta sangat hangat dan mampu mewarnai masyarakat. Saya pun bisa bekerja dengan tenang.”

Bersyukur sebab kiprah PKS menjadi salah satu referensi memilih karir. Memang kebahagiaan bertemu dengan orang-orang yang haus sentuhan, ilmu, dan perhatian itu melahirkan energi untuk menghadapi berbagai tantangan.

Dulu saya pernah berangan-angan, saya yakin suatu saat saya akan berada di sebuah negeri yang kebaikan dan ketulusan itu menjadi roh hidup sehari-hari. Masyarakat yang antusias untuk memperbaiki hidupnya dan bergerak merengkuh yang lainnya sebagai wujud rasa syukur atas nikmat Allah berada pada lingkaran orang-orang baik dan mencintai ilmu.

Ternyata itu bukanlah negeri dongeng dalam angan-angan belaka. Itu ada di sini. Di negeri yang jauh ini saya menemukannya.
(Nurika Nugraheni)

Rekayasa Siapa?


“Jika partai lain melakukan rekayasa publik, PKS itu unik. Mereka melakukan rekayasa kepada kadernya,” seloroh Zaim Saidi kepada Zaim Uchrowi, dan Zaim yang kedua menyampaikannya kepada saya dalam situasi santai dan penuh canda tawa.

Siapapun tahu kapabilitas ilmu dan gerakan Zaim kedua itu. Mas ZS dengan PIRAC-nya: sementara ZU dengan Republika, dan kini Balai Pustaka-nya. Mereka berdua merupakan cendekiawan muda yang militan dan idealis sehingga tentu tidak sembarangan melontarkan pernyataan.

Kedua Zaim sama-sama ahli rekayasa dan strategi. Mereka dengan santai menyatakan kepada saya (salah satu kader PKS) bahwa PKS melakukan rekayasa kepada kadernya. Tentu saja saya menanggapi dengan senyum sebab walau bagaimanapun, mas ZU adalah salah satu sahabat. Namun, tentu akal saya berputar dan terus bertanya, benarkah apa yang terjadi pada kader PKS, fikriyan wa qalbiyan wa amalan adalah rekayasa manusia? Seperti biasa saya mencoba meneliti semesta kecil saya dan mencari analognya dengan alam semesta.

Hari itu saya mendapatkan jawabannya dalam sebuah forum ibu-ibu kader PKS di Jakarta. Kebetulan saya mendapatkan amanah untuk menjadi moderator diskusi, yang temanya “Pentingnya Amal Jama’i dalam Memenangkan Dakwah”, sebuah tema yang militan. Isu dakwah telah lama disoroti oleh para ahli politik dan sosial bahwa PKS mestinya tidak menjadikan dakwah dan Islam sebagai dagangan politik. Hmm, diskusi tentang ini tidak akan pernah habis, itu sebabnya lain kali saja membahas tentang hal ini.

Sekali lagi, saya menemukan jawaban tentang “rekayasa” itu dari jawaban seorang ibu ketika melontarkan sebuah pertanyaan “panas”.

“Ibu-ibu sekalian, saat ini PKS disorot oleh publik dari segala sisi, dan sayangnya sorotan itu lebih banyak dipicu oleh hal-hal yang negatif atau dianggap negatif oleh publik, misalnya iklan PKS yang memuat Soeharto sebagai pahlawan, kasus anggota dewan kita yang tertangkap di panti pijat, terakhir kasus Valentine di jabar. Kita sebagai kader sudah bekerja keras untuk memenangkan dakwah, tetapi bagaimana ini? Pemimpin kita? Bukankah seharusnya pemimpin bisa dijadikan teladan?” kata saya berapi-api. Stimulus sudah dilontarkan maka seluruh dendrit dan neuron otak akan merespon sesuai dengan past experience, norma, dan pre-existing knowledge masing-masing. Saya menunggu respon mereka.

Begitu banyak ibu-ibu yang merepon, tetapi ada satu yang begitu kuat, lekat, dan menghujam hati saya sehingga membuat mata saya berkaca-kaca.

“Saya kira, kita harus menasehati mereka, jika punya kekuasaan dengan tangan, jika tidak dengan lisan, jika tidak mampu dengan lisan, kita membencinya dalam hati. Setelah itu, hal yang paling tepat kita lakukan setelah itu adalah berdoa. Kita doakan pemimpin-pemimpin kita agar selalu berada di jalan yang lurus, agar Allah senantiasa membersihkan hati, pikiran, dan tingkah laku mereka. Saya yakin, Allah akan menolong kita semua.”

Seperti sahara terik yang disiram hujan, dingin dan menentramkan. Benarkah respon seperti ini dicangkokkan? Direkayasa manusia? Saya meragukan itu. penguasa hati manusia adalah penciptanya. Jika hanya satu dua orang yang memiliki pemikiran seperti ini, tentu saya percaya ini rekayasa manusia. Akan tetapi, jika hampir seluruh kader memiliki gaya pengambilan keputusan yang seperti ini? Rekayasa siapa? Wamakaruu wa makarallaah, innallaaha khairul maakiriin, dan rekayasa siapa yang lebih baik daripada rekayasa Allah. Sesungguhnya, Allah-lah sebaik-baik pembuat rekayasa.

Dalam hati yang tunduk dan penuh tekad, “Wahai, para pemimpin, sekali saja kalian berkhianat, kalian tidak mengkhianati manusia, tetapi mengkhianati sang Maha Perekayasa! Alangkah hina dan laknat pemimpin yang mengkhianati rakyat yang bahkan dengan tulus mendoakan pemimpinnya saat pemimpinnya melakukan dosa dan kesalahan.”

Alalh maha Adil dan Dia pasti mendatangkan keadilannya.
(Izzatul Jannah)

Perjalanan Cita-cita


Bulan lalu saya dan teman-teman diminta mengisi training jurnalistik di salah satu SMA di Sangkulirang. Kami dijemput Kepala Sekolah dengan innova, kendaraan operasional sumbangan Pemda Kutai Timur.

Diantara kami tidak ada yang berani menyetir. Tiga jam perjalanan darat melintasi jalan yang kadang tinggal separuh dengan jurang menganga di sampingnya. Lalu, disambung kapal kecil atau ketinting yang hanya bisa memuat dua mobil dan penumpang di kanan kirinya, tiga puluh menit menyeberang sebuah teluk menuju daerah Sangkulirang. Tempat ini seperti kampung di atas laut, dengan mata pencaharian utama penduduknya nelayan.

Begitu tiba, kami langsung menuju sebuah ruangan. 80 siswa dengan seragam SMA yang bervariasi menggambarkan mereka berasal dari beberapa sekolah di Sangkulirang. Diantara hadirin, ada yang tanpa seragam. Setelah mengamati sejenak, rupanya beliau, bapak ibu guru, sejak tadi telah menanti kami dengan buku dan pulpen di tangan. Semangat menguapkan penat perjalanan.

Acara disambut sangat antusias. Baik siswa maupun guru ikut dalam setiap simulasi dan kompetisi yang kami buat. Siswa dan gurunya berebut hadiah “Sungguh lega dan bahagia kami dapat berbagi pengalaman tentang cinta membaca dan menulis.”

Sambil istirahat kami menyantap ikan bakar di ruang guru, tentu bersama para guru. Sambil bercerita tidak terasa ludes sudah Baronang yang besar itu. tiba-tiba seorang bapak guru menarik kursi di depan saya. “Kita WK, iya Bu?”

Kita artinya Anda. Sedikit terkejut saya bertanya, “WK itu apa, ya Pak?”

“Wanita Keadilan. Di sini banyak, Bu. Kita semua PKS malah.”

Teman saya tidak kalah terkejut, “Kan, PNS, Pak, bukannya netral?”

“Ha, iya! Tapi, kita merasakan manfaat ada PKS, jadi biar bukan pengurus resmi, tapi aktif ikut pembinaan. Kan, bagi tugas gitu,” kata Beliau dengan logat Bugis dan ekspresi yang semangat.

Saya mengangguk-angguk. Padahal, seharian saya sama sekali tidak menyebutkan identitas ke-PKS-an saya. Ternyata, sudah dikenali dari senyumnya, katanya.

Pekan lalu, saya berada di gedung putih, begitu mereka menyebut, sebuah penginapan di Sangkulirang. Biasanya tamu-tamu istimewa, termasuk pejabat pemerintah yang sedang bertandang ke Sangkulirang menginap di sini. Saya kembali ke sini. Kali ini bersama rombongan PKS, menuntaskan amanah pembinaan pengurus di sana. Persis sama seperti bulan lalu. Baru saja kami memarkir Strada, mobil dobel garda yang tadi terselip dalam kubangan lumpur, telpon dari suami berdering. Kami berada di mobil yang terpisah. Mobil bapak-bapak langsung ke Masjid.

“Dik, sudah ditunggu anak-anak di masjid.”

“Saya baru saja meletakkan barang, berpikir meluruskan badan sejenak karena teman kanan kiri saya tadi mabuk karena likuk perjalanan. Namun, sontak lelah itu menguap. Pengalaman bulan lalu terulang kembali. Anak-anak muda yang antusias, visioner, dan tulus. Saat itu kami berdiskusi tentang cita-cita masa depan.

“Saya ingin jadi diplomat. Saya akan belajr bahasa asing, berbagi budaya, dan biografi tokoh-tokoh dunia. Saya akan menaikkan target nilai sedikit demi sedikit. Setelah lulus SMA, saya ingin melanjutkan kuliah ke jurusan internasional.”

Saya mengajarkan membuat planning target dengan metode mind mapping. Ajaib! Mereka telah memiliki itu sehingga saya tidak perlu susah payah mengarahkan logika berpikir mereka. Subhanallah, anak-anak ini adalah mutiara bangsa yang harus sampai ke ujung cita-citanya!

“Adakah yang tertarik menaklukkan Kalimantan? Membuat jalan-jalan sehalus di Jawa? Menghubungkan antar tempat semudah menyentuh layar komputer?” saya tidak menghendaki jawaban itu sekarang. Biar saja itu mengiang-ngiang di kepala mereka.

Gemes rasanya ketika melintasi jalan-jalan tadi. Jauh, berat, panjang, dan penuh tantangan. Bahkan, kadang kalau kita ke Muara Bengkal dan Batu Ampar, kita harus menyebrang sungai dengan titian dua pohon panjang yang dibentangkan ke seberang sungai selebar bodi mobil bisa melintasinya. Itu hanya bisa dilakukan oleh driver yang telah terlatih karena tidak boleh sedikitpun ban meleset dari titian itu. ke Bengalon juga demikian. Saat saya berkesempatan menjenguk saudara-saudara transmigran dari Bantul Yogya di sana, Strada kami rasanya sedang memerosot ke dalam lumpur.

Meski Sangkulirang termasuk daerah “bekas” perusahaan kayu yang kini tengah menguap bersama asap pembalakan, kita masih harus bergantung dengan penyeberangan laut. Saat pulang pun, kami menunggu air pasang menjelang senja. Kalau nekat, mobil kami bisa meluncur ke laut saat Ketinting tidak bisa menjangkau bibir pelabuhan.

Akhirnya, menjelang tengah malam kami baru sampai di Sangatta kembali. Bayangkan bagaimana 17 kecamatan lainnya bisa saling terhubung? Oh, itu sungguh-sungguh terjadi di negeri yang kaya ini.

Syukur, hanya itu yang harus saya ucapkan. Betapa beruntungnya saya pernah menikmati hidup di Yogya. Dalam sehari bahkan saya bisa berkegiatan dari ujung ke ujung kotanya meski seharian kerja kantoran. Saya juga bisa memilih akan belajar apa saja, di mana saja, dan sama siapa saja. Di Sangatta, rasanya harus pandai-pandai mengelola diri.

“Bu, besuk ke sini lagi, ya,” katanya penuh harap. “dari mana lagi kami dapat ilmu baru. Kadang televisi sangat membantu, tapi kadang itu membuat bingung.”

Saya mengerti perasaan mereka. Di satu sisi angan-angan untuk menjelajah lautan ilmu begitu tinggi. Namun, kungkungan alam kadang-kadang harus membuat mereka berkompromi.

Tentu saja itu bukan rintangan yang melemahkan. Kita akan terus bekerja sama mewujdukan mimpi anak-anak kita.
(Nurika Nugraheni)

Sabtu, 28 Maret 2009

Pengantar (Dr. Hidayat Nur Wahid)


Di tengah konstelasi politik yang mengharu biru serta era keterbukaan yang terus memberi banyak kesempatan bagi seluruh warga bangsa untuk turut serta dalam dinamika negeri, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terus melaju. Meski bukan tanpa halangan, partai yang sejak awal berasal dari kampus dan didominasi oleh kaum muda dan terpelajar ini, makin lama makin memperluas konstituennya. Kini, PKS tidak hanya diisi oleh kaum muda dan kaum terpelajar, tetapi juga oleh kaum tua, kurang terdidik, tukang ojek, tukang susu, bahkan pengamen. Kiprah PKS tentu saja sejak tahun 2004 meluas, tidak hanya merambah gedung DPR, tetapi juga merambah ranah eksekutif.

Sebagai konsekuensi dari konversi dakwah dalam rimba politik, PKS seharusnya menyadari bahwa aral melintang akan semakin besar. Pasalnya, paradigma dakwah yang transender dan suci dianggap dinistakan ketika dicampurkan dalam rimba politik yang telah terstigma atas nama sekularisme sebagai arena yang profan, kotor, dan licik. Sekularisme telah lama menjadi musuh bagi upaya-upaya mengiringkan persoalan-persoalan duniawi dengan persoalan ukhrawi. Dengan demikian, politikdan agama menjadi sesuatu yang berjarak, jika tidak mungkin disebut bermusuhan. Ujungnya, Islam politik tidak cukup mendapatkan tempat di negeri ini.

Sekalipun sejak dari awal, agama dan politik telah terljalin berkelindan dalam sejarah perpolitikan di Indonesia (fakta menyebutkan, sebelum berdirinya PNI dan PKI, telah terlebih dahulu berdiri partai Islam, yaitu Partai Serikat Islam), kenyataan sejarah menyebutkan bahwa gerakan politik Islam belum membuahkan hasil yang signifikan juga. Sejak tahun 1955, kekuatan Islam terpecah sehingga pilihan umat terpecah ke dalam enam partai: Masyumi memperoleh 20%, NU mendapat suara 18,4%, PSII memperoleh suara 2,0%, Perti 1,3%, dan PPTI serta AKUI masing-masing 0,2%. Sekalipun partai-partai sekuler terpecah empat kali lebih banyak daripada partai-partai Islam, pada zaman orde baru, gerakan Islam politik kembali dikebiri dengan restrukturisasi sistem kepartaian. Empat partai Islam, yakni PARMUSI, NU, PSII, dan PERTI digabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dengan demikian, PPP menjadi satu-satunya representasi kekuatan politik Islam.

Saat ini, pada era keterbukaan, PKS mengusung ide yang sudah lama tidak diminati atau bahkan ditanggapi dengan skeptis dan curiga oleh para pegiat politik. Ide itu tidak lain adalah kolaborasi dakwah dan politik. Oleh sebab itu, bagi mereka yang skeptis dan curiga (plus oleh sebagian kelompok Islamophobia), PKS menjadi fenomena yang pantas dicermati, diteliti, diamati, bahkan digoyang.

Saat ini, para kader, pemegang amanah struktural, para aleg, pemegang amanah di jajaran eksekutif dari PKS perlu melihat ancaman ini sebagai potensi dakwah. Mengapa? Publik membutuhkan bukti, bukan sekedar simbol dan janji-janji. Bagaimanapun, penyangsian publik terhadap gerak dakwah PKS bukan tanpa sebab. Pertama, polarisasi politik dan agama dalam merekam rebutan kekuasaan di tanah air yang vis a vis, seolah telah terbantahkan oleh PKS. Ini tentu bukan berarti PKS tidak bisa tersandung oleh upaya mengkonversi ide politik dan agama. Kedua, eksperimentasi PKS seolah mengisyaratkan bahwa aktifis politik dan pilihan politik PKS harus tanpa cacat cela, sebagaimana dogma dan norma agama. Maka dari itu, konsekuensi ini menjadi berat ditanggung oleh mereka yang tidak mengerti arah gerakan politik ini. Karenanya, jika ada yang sempat bersalah, mereka dijadikan justifikasi akan ketidakmungkinan senyawanya antara dakwah dan politik.

Buku ini sedang mencoba untuk merekam upaya-upaya para kader, pemegang amanah struktural, para aleg, pemegang amanah di jajaran eksekutif dari PKS dalam melihat potensi dakwah di atas. Upaya untuk membuktikan bahwa seluruh elemen PKS bekerja dalam kerangka pikir yang menuju satu titik, yakni kemenangan dakwah agar ia menajdi rahmat bagi seluruh alam. Buku ini juga bertutur bahwa dalam semangat mengkonversi politik dan dakwah, menghasilkan berbagai perilaku yang boleh jadi multiinterpretatif, multitafsir. Biarkan saja publik menilai dan belajar menentukan. Tentu sambil terus berhati-hati mengembangkan budaya syura dan berkomunikasi sebaik mungkin. Dan bekerjalah maka Allah dan orang-orang mukmin akan menjadi saksi.