Minggu, 29 Maret 2009

Apa Saja untuk Rakyat


“Anggota dewan, dokter gigi, supir, makelar rumah, agen KTP, dan tukang jilid proposal,” seru lelaki muda itu dengan mata menyipit karena tawa.

Aku ikut tertawa.

Di tangan lelaki itu bertumpuk proposal dari masyarakat konstituennya yang akan diajukannya. Belum ada proposal itu yang dijilid. Dia yang akan membawanya ke tukang foto kopi.

Sejak pagi dia berkeliling kecamatan, menemui calon proyek kebajikan. Berdiskusi, menemukan titik temu, mencari solusi, dan memberikan motivasi. Dia tidak mau hanya duduk di rumah, menunggu masyarakat mengajukan permintaan.

Hasilnya belasan rencana kerja pelayanan masyarakat. Tangannya memasukkan proposal itu ke dalam tas besarnya. Sepeda motor usang menunggu. Di bawah terik matahari, lelaki itu melaju membawa selaut harapan.

Rahmat Juliadi, anggota legislatif DPRD Sumedang, ke manapun dia datang, riang dan tawa menjadi warna harinya. Tidak ada masalah yang susah jika disampaikan kepadanya. Seberat apapun, dia memiliki cara meringankan beban.

Warga kesulitan mendapatkan KTP karena tidak memiliki surat pindah dari kedutaan besar luar negeri, telah berupaya ini dan itu tetapi kendala administrasi selalu menghalang. Rahmat lalu membawa formulir KTP itu ke Kepala Desa, menjelaskan masalah dan meminta saran pemecahannya. Dia bahkan menjadikan dirinya jaminan saat aparat desa khawatir warga yang bersangkutan bukan orang yang baik-baik.

Berkali-kali masyarakat membutuhkan mobil dan supir untuk membawa ibu hamil atau warga ke rumah sakit. Rahmat menyediakan waktu dan dirinya.

“Satu-satunya mobil yang berani kita pinjem dan hampir selalu ada, ya, mobil Pak Rahmat, teh,” kata ibu komplek.

Sepagi Sabtu itu, dia mengantarkan satu keluarga ke rumah sakit. Siang minggu dia menjemput salah seorang ibu dari rumah sakit Al-Islam sehabis melahirkan. Pada sore Sabtu yang lain, dia mengantarkan keluarga yang lain ke rumah sakit yang lain. Baru pekan lalu dia menawarkan diri dan mobilnya untuk mengantarkan seorang nenek warga Citali yang sakit parah ke RS Sumedang.

“Kata anak-anak, abi, mah, sibuk wae,” Amie, istri Rahmat, berujar sambil tersenyum.

Di tengah kesibukan yang berjibun, dia masih menyempatkan diri mencarikan informasi rumah kosong bagi yang membutuhkan. Karena dia anggota legislatif, orang berharap dia juga pusat informasi. Termasuk informasi rumah kosong dan calon penghuni rumah.

“Nggak ada masalah, lah, itu.” dia mengibaskan tangan, menolak anggapan bahwa dia telah meringankan kehidupan banyak orang.

karena dia dokter gigi, Rahmat teramat sering kedatangan warga yang sakit gigi dan minta dirawat. Walaupun tidak membuka praktek di rumahnya, dia melakukan pertolongan perawatan gigi darurat di sana.

“Baru dari pak dokter, nih,” kata Ummu Nizar sembari menggendong anaknya malam itu.

“Ada apa, ummi?”

“Nizar sakit gigi. Karena sudah malam, menelepon pak dokter saja. Sama pak dokter disuruh bawa ke rumah. Barusan pak dokter mencabut gigi dik Nizar.”

“Pak dokter, ada, ya?” pikiranku ingat dengan kesibukannya yang luar biasa.

“Nggak ada, sih, tadinya. Tapi pas ditelpon, pak dokter bilang akan pulang dan meminta kita menunggu jika saat datang beliau belum ada.”

Aku mengangguk-angguk. Berapa biaya perawatan supercepat dan personal ini?

“Gratis. Wah, pak dokter nggak mau dibayar. Malah dik Nizar yang dikasih hadiah.”

Ummu Nizar lalu menceritakan pengalamannya yang lain berobat gigi dengan pak dokter Rahmat.

“Beliau nggak pernah mau dibayar,” tekan Ummu Nizar bersemangat.

Hatiku terasa ringan. Ah, luar biasa.

Baru kemarin istri Rahmat cerita. Rahmat mengajari istrinya bahwa pekerjaan dewan bukan “pekerjaan”. Waktu di dewan adalah masa melayani masyarakat. Uang yang didapat dari dewan tidak dijadikan sumber kehidupan. Rahmat menjatah dana keluarga, dan Amie diminta mengaturnya supaya cukup. Mereka berdua sepakat uang yang didapat dari pekerjaan sebagai anggota legislatif dikembalikan kepada masyarakat dalam berbagai bentuk.

“Pak Rahmat nggak pernah tega mengambil uang dari masyarakat. Begitu banyak yang membutuhkannya,” terang Amie.

Rumah Rahmat memang dikenal masyarakat sebagai tempat mencari bantuan. Ada yang kehabisan uang di jalan, singgah, dan minta tolong. Banyak yang meminjam uang dan tidak mampu mengembalikannya. Ada yang memerlukan uang untuk membayar sekolah. dari berbagai daerah, orang menemukan dirinya di depan pintu Rahmat.

“Pokoknya, mah, jika ada yang minta-minta bantuan, kita suruh ke rumah pak Rahmat saja,” cetus seorang kader PKS.

Rumah Rahmat banyak pengunjung.

“Bagi kita, Mun, posisi aleg bukan untuk cari maisyah (penghasilan). Sedapat mungkin uang dari dewan bukan untuk kepentingan keluarga. Pak Rahmat memberikan uang belanja kepada saya. Plus gaji saya. Alhamdulillah berlebih.” Binar mata Amie seperti bintang.

Mata saya berembun.

Sepeda motor itu… sudah sedemikian tua dan jelek… apalagi untuk seorang aleg yang dokter gigi.
(Muthmainnah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar