Sabtu, 28 Maret 2009

Pengantar (Dr. Hidayat Nur Wahid)


Di tengah konstelasi politik yang mengharu biru serta era keterbukaan yang terus memberi banyak kesempatan bagi seluruh warga bangsa untuk turut serta dalam dinamika negeri, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terus melaju. Meski bukan tanpa halangan, partai yang sejak awal berasal dari kampus dan didominasi oleh kaum muda dan terpelajar ini, makin lama makin memperluas konstituennya. Kini, PKS tidak hanya diisi oleh kaum muda dan kaum terpelajar, tetapi juga oleh kaum tua, kurang terdidik, tukang ojek, tukang susu, bahkan pengamen. Kiprah PKS tentu saja sejak tahun 2004 meluas, tidak hanya merambah gedung DPR, tetapi juga merambah ranah eksekutif.

Sebagai konsekuensi dari konversi dakwah dalam rimba politik, PKS seharusnya menyadari bahwa aral melintang akan semakin besar. Pasalnya, paradigma dakwah yang transender dan suci dianggap dinistakan ketika dicampurkan dalam rimba politik yang telah terstigma atas nama sekularisme sebagai arena yang profan, kotor, dan licik. Sekularisme telah lama menjadi musuh bagi upaya-upaya mengiringkan persoalan-persoalan duniawi dengan persoalan ukhrawi. Dengan demikian, politikdan agama menjadi sesuatu yang berjarak, jika tidak mungkin disebut bermusuhan. Ujungnya, Islam politik tidak cukup mendapatkan tempat di negeri ini.

Sekalipun sejak dari awal, agama dan politik telah terljalin berkelindan dalam sejarah perpolitikan di Indonesia (fakta menyebutkan, sebelum berdirinya PNI dan PKI, telah terlebih dahulu berdiri partai Islam, yaitu Partai Serikat Islam), kenyataan sejarah menyebutkan bahwa gerakan politik Islam belum membuahkan hasil yang signifikan juga. Sejak tahun 1955, kekuatan Islam terpecah sehingga pilihan umat terpecah ke dalam enam partai: Masyumi memperoleh 20%, NU mendapat suara 18,4%, PSII memperoleh suara 2,0%, Perti 1,3%, dan PPTI serta AKUI masing-masing 0,2%. Sekalipun partai-partai sekuler terpecah empat kali lebih banyak daripada partai-partai Islam, pada zaman orde baru, gerakan Islam politik kembali dikebiri dengan restrukturisasi sistem kepartaian. Empat partai Islam, yakni PARMUSI, NU, PSII, dan PERTI digabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dengan demikian, PPP menjadi satu-satunya representasi kekuatan politik Islam.

Saat ini, pada era keterbukaan, PKS mengusung ide yang sudah lama tidak diminati atau bahkan ditanggapi dengan skeptis dan curiga oleh para pegiat politik. Ide itu tidak lain adalah kolaborasi dakwah dan politik. Oleh sebab itu, bagi mereka yang skeptis dan curiga (plus oleh sebagian kelompok Islamophobia), PKS menjadi fenomena yang pantas dicermati, diteliti, diamati, bahkan digoyang.

Saat ini, para kader, pemegang amanah struktural, para aleg, pemegang amanah di jajaran eksekutif dari PKS perlu melihat ancaman ini sebagai potensi dakwah. Mengapa? Publik membutuhkan bukti, bukan sekedar simbol dan janji-janji. Bagaimanapun, penyangsian publik terhadap gerak dakwah PKS bukan tanpa sebab. Pertama, polarisasi politik dan agama dalam merekam rebutan kekuasaan di tanah air yang vis a vis, seolah telah terbantahkan oleh PKS. Ini tentu bukan berarti PKS tidak bisa tersandung oleh upaya mengkonversi ide politik dan agama. Kedua, eksperimentasi PKS seolah mengisyaratkan bahwa aktifis politik dan pilihan politik PKS harus tanpa cacat cela, sebagaimana dogma dan norma agama. Maka dari itu, konsekuensi ini menjadi berat ditanggung oleh mereka yang tidak mengerti arah gerakan politik ini. Karenanya, jika ada yang sempat bersalah, mereka dijadikan justifikasi akan ketidakmungkinan senyawanya antara dakwah dan politik.

Buku ini sedang mencoba untuk merekam upaya-upaya para kader, pemegang amanah struktural, para aleg, pemegang amanah di jajaran eksekutif dari PKS dalam melihat potensi dakwah di atas. Upaya untuk membuktikan bahwa seluruh elemen PKS bekerja dalam kerangka pikir yang menuju satu titik, yakni kemenangan dakwah agar ia menajdi rahmat bagi seluruh alam. Buku ini juga bertutur bahwa dalam semangat mengkonversi politik dan dakwah, menghasilkan berbagai perilaku yang boleh jadi multiinterpretatif, multitafsir. Biarkan saja publik menilai dan belajar menentukan. Tentu sambil terus berhati-hati mengembangkan budaya syura dan berkomunikasi sebaik mungkin. Dan bekerjalah maka Allah dan orang-orang mukmin akan menjadi saksi.

1 komentar: