Minggu, 29 Maret 2009

Perjalanan Cita-cita


Bulan lalu saya dan teman-teman diminta mengisi training jurnalistik di salah satu SMA di Sangkulirang. Kami dijemput Kepala Sekolah dengan innova, kendaraan operasional sumbangan Pemda Kutai Timur.

Diantara kami tidak ada yang berani menyetir. Tiga jam perjalanan darat melintasi jalan yang kadang tinggal separuh dengan jurang menganga di sampingnya. Lalu, disambung kapal kecil atau ketinting yang hanya bisa memuat dua mobil dan penumpang di kanan kirinya, tiga puluh menit menyeberang sebuah teluk menuju daerah Sangkulirang. Tempat ini seperti kampung di atas laut, dengan mata pencaharian utama penduduknya nelayan.

Begitu tiba, kami langsung menuju sebuah ruangan. 80 siswa dengan seragam SMA yang bervariasi menggambarkan mereka berasal dari beberapa sekolah di Sangkulirang. Diantara hadirin, ada yang tanpa seragam. Setelah mengamati sejenak, rupanya beliau, bapak ibu guru, sejak tadi telah menanti kami dengan buku dan pulpen di tangan. Semangat menguapkan penat perjalanan.

Acara disambut sangat antusias. Baik siswa maupun guru ikut dalam setiap simulasi dan kompetisi yang kami buat. Siswa dan gurunya berebut hadiah “Sungguh lega dan bahagia kami dapat berbagi pengalaman tentang cinta membaca dan menulis.”

Sambil istirahat kami menyantap ikan bakar di ruang guru, tentu bersama para guru. Sambil bercerita tidak terasa ludes sudah Baronang yang besar itu. tiba-tiba seorang bapak guru menarik kursi di depan saya. “Kita WK, iya Bu?”

Kita artinya Anda. Sedikit terkejut saya bertanya, “WK itu apa, ya Pak?”

“Wanita Keadilan. Di sini banyak, Bu. Kita semua PKS malah.”

Teman saya tidak kalah terkejut, “Kan, PNS, Pak, bukannya netral?”

“Ha, iya! Tapi, kita merasakan manfaat ada PKS, jadi biar bukan pengurus resmi, tapi aktif ikut pembinaan. Kan, bagi tugas gitu,” kata Beliau dengan logat Bugis dan ekspresi yang semangat.

Saya mengangguk-angguk. Padahal, seharian saya sama sekali tidak menyebutkan identitas ke-PKS-an saya. Ternyata, sudah dikenali dari senyumnya, katanya.

Pekan lalu, saya berada di gedung putih, begitu mereka menyebut, sebuah penginapan di Sangkulirang. Biasanya tamu-tamu istimewa, termasuk pejabat pemerintah yang sedang bertandang ke Sangkulirang menginap di sini. Saya kembali ke sini. Kali ini bersama rombongan PKS, menuntaskan amanah pembinaan pengurus di sana. Persis sama seperti bulan lalu. Baru saja kami memarkir Strada, mobil dobel garda yang tadi terselip dalam kubangan lumpur, telpon dari suami berdering. Kami berada di mobil yang terpisah. Mobil bapak-bapak langsung ke Masjid.

“Dik, sudah ditunggu anak-anak di masjid.”

“Saya baru saja meletakkan barang, berpikir meluruskan badan sejenak karena teman kanan kiri saya tadi mabuk karena likuk perjalanan. Namun, sontak lelah itu menguap. Pengalaman bulan lalu terulang kembali. Anak-anak muda yang antusias, visioner, dan tulus. Saat itu kami berdiskusi tentang cita-cita masa depan.

“Saya ingin jadi diplomat. Saya akan belajr bahasa asing, berbagi budaya, dan biografi tokoh-tokoh dunia. Saya akan menaikkan target nilai sedikit demi sedikit. Setelah lulus SMA, saya ingin melanjutkan kuliah ke jurusan internasional.”

Saya mengajarkan membuat planning target dengan metode mind mapping. Ajaib! Mereka telah memiliki itu sehingga saya tidak perlu susah payah mengarahkan logika berpikir mereka. Subhanallah, anak-anak ini adalah mutiara bangsa yang harus sampai ke ujung cita-citanya!

“Adakah yang tertarik menaklukkan Kalimantan? Membuat jalan-jalan sehalus di Jawa? Menghubungkan antar tempat semudah menyentuh layar komputer?” saya tidak menghendaki jawaban itu sekarang. Biar saja itu mengiang-ngiang di kepala mereka.

Gemes rasanya ketika melintasi jalan-jalan tadi. Jauh, berat, panjang, dan penuh tantangan. Bahkan, kadang kalau kita ke Muara Bengkal dan Batu Ampar, kita harus menyebrang sungai dengan titian dua pohon panjang yang dibentangkan ke seberang sungai selebar bodi mobil bisa melintasinya. Itu hanya bisa dilakukan oleh driver yang telah terlatih karena tidak boleh sedikitpun ban meleset dari titian itu. ke Bengalon juga demikian. Saat saya berkesempatan menjenguk saudara-saudara transmigran dari Bantul Yogya di sana, Strada kami rasanya sedang memerosot ke dalam lumpur.

Meski Sangkulirang termasuk daerah “bekas” perusahaan kayu yang kini tengah menguap bersama asap pembalakan, kita masih harus bergantung dengan penyeberangan laut. Saat pulang pun, kami menunggu air pasang menjelang senja. Kalau nekat, mobil kami bisa meluncur ke laut saat Ketinting tidak bisa menjangkau bibir pelabuhan.

Akhirnya, menjelang tengah malam kami baru sampai di Sangatta kembali. Bayangkan bagaimana 17 kecamatan lainnya bisa saling terhubung? Oh, itu sungguh-sungguh terjadi di negeri yang kaya ini.

Syukur, hanya itu yang harus saya ucapkan. Betapa beruntungnya saya pernah menikmati hidup di Yogya. Dalam sehari bahkan saya bisa berkegiatan dari ujung ke ujung kotanya meski seharian kerja kantoran. Saya juga bisa memilih akan belajar apa saja, di mana saja, dan sama siapa saja. Di Sangatta, rasanya harus pandai-pandai mengelola diri.

“Bu, besuk ke sini lagi, ya,” katanya penuh harap. “dari mana lagi kami dapat ilmu baru. Kadang televisi sangat membantu, tapi kadang itu membuat bingung.”

Saya mengerti perasaan mereka. Di satu sisi angan-angan untuk menjelajah lautan ilmu begitu tinggi. Namun, kungkungan alam kadang-kadang harus membuat mereka berkompromi.

Tentu saja itu bukan rintangan yang melemahkan. Kita akan terus bekerja sama mewujdukan mimpi anak-anak kita.
(Nurika Nugraheni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar