Minggu, 29 Maret 2009

Negeri yang Jauh


Kami baru saja meluncurkan sebuah buku Sangatta, sangat banyak cerita. Pasalnya, sebagian besar orang kalau ditanya tentang Sangatta, mereka akan mengatakan bahwa Sangatta itu kota kecil yang jauh di tengah hutan. Gambarnya tidak ada di peta kecuali setahun terakhir ini.

Masih untung ada jalan darat meski rusak parah dan orang menyebutnya broken hard way. Tujuh jam perut kita teraduk-aduk menempuh jalan ini dari bandara Sepinggan yang menghubungkan Balikpapan dengan kota-kota besar lainnya. Airnya hitam atau coklat berminyak, khas air rawa yang perlu diwasapadai karena menyimpan monster buaya.

Kata “Sangatta” sendiri katanya diartikan sangat menderita. Mengerikan sekali! Saya bertanya-tanya, kalau sudah tahu keadaan seperti itu, mengapa begitu banyak orang datang dan bertahan di kota ini belasan tahun?

Hidayah, itulah kebahagiaan yang setiap orang tidak mau melepasnya. Rupanya itu pulalah yang membuat orang dapat melihat sisi lain kehidupan sehingga dapat berkiprah lebih produktif. Dalam kebahagiaan menerima sesuatu dari Allah atau dari orang lain, terkandung sebuah energi yang sangat besar untuk memproduksi kembali kebaikan itu menjadi berlipat ganda dan mampu menyebarluaskannya.

Itulah yang saya rasakan ketika tinggal di gang famili, Sangatta Utara. Saya bertanya kepada ibu-ibu tentangga saya, bagaimana perasaannya selama tinggal di sini.

“Bersyukur, mbak Ika. Saya ketemu PKS di sini. Meski orang bilang kita ini di tengah hutan, namanya hidayah Allah, subhaanallah. Benar itu, Mbak. Nggak cuma saya. Kami-kami ini baru berjilbab di sini. Baru mulai mengaji di sini. Bahkan, mulai berumah tangga islami juga di sini. Makanya, kalau libur cuti ke Jawa, nggak betah lama-lama,” kata bu Yanti Ali.

Oh, ada satu tanda tanya yang kini terjawab. Pantas saja pada setiap kegiatan PKS begitu banyak orang yang antusias datang mengikuti. Bahkan, majelis-majelis taklim dan liqo’-liqo’ berkembang banyak. Baru beberapa hari tinggal di sini, saya berpapasan dengan seorang ibu di dekat gerbang komplek.

“Mau ngisi liqo’, mbak Ika, atau mau ngaji liqo’?” maklum, wajah baru saya lebih mudah dikenali.

“Oh, enggak, kok. Mau ke rumah bu Vadillah Bumi Etam, ada urusan biro psikologi.” Sedikit risih saya menjawabnya sebab ketika saya masih di Yogya pertanyaan tentang liqo’ tidak begini terbuka.

Atau ketika di kendaraan umum saya bertemu dengan seseorang, “Ibu yang ngisi acara di Darussalam kemarin, ya? Ibu, murobbi, ya? Binaannya berapa kelompok, Bu? Wah, saya salut sekali. Saya mau ngaji dulu biar nanti juga bisa jadi murobbi.”

Hmm, saya mengangguk-angguk mendengar pertanyaan dan pernyataannya yang bertubi-tubi. Inilah model pengajian khas PKS. Pembinaan itu mengena sampai ke hati dan mengubah gaya hidup masyarakat menjadi lebih santun, mencintai ilmu, dan peduli terhadap sesama.

Beberapa bulan di Sangatta, saya merasakan kerinduan yang begitu rupa, ingin mendengarkan taujihUstadz-ustadz PKS sebagaimana dulu sering saya dengarkan saat di Yogya. Di tempat yang jauh ini, siapa yang akan mampir? Hingga suatu malam PKS Kutim menyelenggarakan tabligh akbar yang menghadirkan ustadz dari Jakarta. Ada keributan kecil dengan suami karena saya bertahan ingin ikut sampai selesai, sedangkan beliau sedang sakit. Termasuk ketika ada informasi bahwa akan ada pengajian dengan Ustadz Anis Matta di kantor PKS. Wah! Semua orang bergairah. Anis Matta yang selama ini bagi orang Sangatta hanya bisa dilihat di TV dan terasa akrab karena beliau berasal dari Makassar, kota yang banyak penduduknya hijrah ke sini. Bahkan, ustadz Sabaruddin, anggota DPRD II Kutai Timur dari PKS adalah ustadz beliau semasa masih kuliah.

Kami berbondong-bondong dan tertawa bersama ketika menyadari kreatifnya pengurus DPD PKS mengundang kami. Ternyata, ustadz Anis Matta ada di layar viewver yang disorotkan dari laptop.

Katanya, “ini rekaman taujih ustadz Anis Matta untuk masyarakat Kutai Timur.”

Saya tidak kuasa menahan air mata.

Subhaanallah, betapa sapaan ketulusan pada kader PKS itu mampu menyulut semangat hidup orang-orang yang berada jauh dari hiruk pikuk perebutan “kepentingan” di negeri ini. Mereka mampu menjadi pengubah di masyarakatnya meski kecil dan jauh tidak terdengar.

Suatu hari, seorang geologis sebuah perusahaan tambang batu bara terbesar kedua di dunia yang beroperasi di Sangatta mengatakan kepada saya. “Saya bersyukur sekali bisa ikut liqo’ di sini. Dulu awalnya teman-teman menertawai saya. Waktu dia menelepon, saya sedang liqo’. Jadi, ketahuan deh, kalau saya ikut liqo’. Mereka belum tahu kalau liqo’ itu ternyata sangat menyenangkan dan bermanfaat. Saya sebenarnya diterima di tambang Berau dan Sangatta. Saat memilih, saya tanya teman-teman dulu. Katanya pilih Sangatta saja, rasakah sendiri nanti. Ternyata benar. Kalau ceritaan dengan teman-teman, PKS di Sangatta sangat hangat dan mampu mewarnai masyarakat. Saya pun bisa bekerja dengan tenang.”

Bersyukur sebab kiprah PKS menjadi salah satu referensi memilih karir. Memang kebahagiaan bertemu dengan orang-orang yang haus sentuhan, ilmu, dan perhatian itu melahirkan energi untuk menghadapi berbagai tantangan.

Dulu saya pernah berangan-angan, saya yakin suatu saat saya akan berada di sebuah negeri yang kebaikan dan ketulusan itu menjadi roh hidup sehari-hari. Masyarakat yang antusias untuk memperbaiki hidupnya dan bergerak merengkuh yang lainnya sebagai wujud rasa syukur atas nikmat Allah berada pada lingkaran orang-orang baik dan mencintai ilmu.

Ternyata itu bukanlah negeri dongeng dalam angan-angan belaka. Itu ada di sini. Di negeri yang jauh ini saya menemukannya.
(Nurika Nugraheni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar