Hari itu di kantor DPD PKS Kota Yogyakarta. Kami baru saja shalat Isya. Beberapa rekan kemudian beristirahat, sedangkan yang lainnya melanjutkan tugas, menyalurkan bantuan untuk korban gempa di Bantul.
Sebulan setelah gempa, kondisi mulai membaik, tetapi masih banyak yang harus dilakukan. Semua kader dan simpatisan PKS Kota Yogyakarta yang tidak tertimpa musibah, wajib bergerak ke Bantul dan membantu proses recovery warga. Praktis, kami beristirahat sekenanya. Bahkan, kadang harus mencuri-curi waktu seperti selepas shalat malam itu.
Saya hendak ikut berbaring di atas tikar bersama teman-teman, tetapi melihat Ustadz Dwi Budi masih duduk-duduk di mushala. Akhirnya, saya mengurungkan niat untuk istirahat dan memutuskan untuk mengobrol bersama beliau. Namun, sepertinya kondisi ustadz tidak fit. Beliau tidak fokus pada obrolan kami. Ada sesuatu yang mengganggu. Saya mengira, ada masalah dengan penyaluran bantuan di Bantul.
“Nggak, nggak apa-apa, kok. Semua lancar,” jawab Ustadz Dwi Budi saat saya tanya.
Saya mengangguk dan kami kembali bercakap-cakap. Tapi lagi, ustadz sepertinya terganggu dengan sesuatu. Akhirnya, saya bertanya lagi, kali ini menanyakan apakah ada keluarga beliau yang sakit.
Kembali beliau menjawab tidak. Istri dan Aisyah, putri beliau, sehat.
Saya mengagguk lagi. Kali ini, kami saling berdiam diri. Saya bingung harus berkata apa, sedangkan Ustadz Dwi Budi sepertinya enggan berkata-kata. Akhirnya, beliau yang memecah keheningan dengan balik bertanya kepada saya “Apa Yoga pernah tahu kalau saya memakai mobil sedan itu untuk mengantar anak?”
Saya bengong, tidak terlalu nyambung dengan pertanyaan beliau. Ustadz pun menunjuk pada mobil yang parkir di jalan depan kantor DPD.
Saya menggeleng. “Memang kenapa, Ustadz?”
“Nggak…” Beliau kembali terdiam, tetapi kali ini tidak lama. “Tadi ada tetangga yang silaturahim ke rumah. Beliau bercerita kalau ada temannya yang mengatakan bahwa saya ini sering memakai mobil sedan itu untuk keperluan keluarga. Untuk antar anak. Nggak Cuma sekalu-dua kali, tapi sering…” Beliau terdiam lagi. Raut wajahnya terlihat keruh, “Padahal seingat saya, kok, saya tidak pernah, ya, pakai mobil sedan itu untuk keperluan keluarga…”
Saya ikut terdiam dan berpikir keras. Kapan, ya, saya pernah melihat ustadz memakai mobil untuk mengantar anak? Setelah lama berpikir dan tidak menemukan jawaban, saya akhirnya bertanya lagi.
“Lha, temannya tetangga itu melihat Ustadz mengantar Aisyah ke mana?”
Ustadz Dwi Budi terdiam lama, semakin termangu mendengar pertanyyan saya. Beliau kemudian mengeluarkan telepon genggam. Dari percakapan yang kemudian terjadi, saya menangkap beliau menghubungi sang bapak tetangga dan menanakan secara rinci cerita temannya.
Saat Ustadz terdiam dan mendengarkan dengan serius. Tiba-tiba, beliau tertawa.beliau bercakap-cakap beberapa saat dengan sang tetangga sebelum akhirnya menutup telepon dan menatap saya.
Seulas senyum tersungging di bibir.
“Alhamdulillah, masalahnya selesai.” Beliau kemudian menjelasakan. “Ternyata, teman tetangga saya melihat mobil sedan itu di sebuah SD. Mengantar anak yang sekolah di sana, katanya. Nggak mungkin yang pakai saya, wong Aisyah blm sekolah. paling mobil itu sedang dipinjam orang lain.” Beliau tertawa kecil. “Sudah, masalah sudah selesai. Sekarang, bisa tidur. Ayo, istirahat dulu. Nanti kerja lagi.”
Beliau lalu membaringkan diri di lantai mushala. Sesaat kemudian, beliau sudah tertidur dengan seulas senyum masih tersungging di bibir.
Tentu, Anda heran dengan kebingungan Ustadz Dwi Budi atas masalah sepele ini. Mobil sedan untuk mengantar anak seharusnya bukan persoalan besar. Namun, bagi Ustadz Dwi Budi, ini menjadi masalah serius.
Dwi Budi Utomo adalah Wakil ketua DPRD Kota Yogyakarta dari PKS. Mobil sedan yang ia maksud adalah mobil dinas Wakil Ketua DPRD Yogyakarta. Saat menerima mobil dinas itu, Ustadz Dwi Budi berjanji pada dirinya sendiri untuk memakai mobil itu hanya untuk urusan-urusan dinas.
Beliau tidak akan pernah memakai mobil itu untuk masalah-masalah pribadi, terlebih untuk “sekedar” mengantar anak. Kalau tidak sedang digunakan untuk keperluan dinas, mobil itu bebas dipinjam oleh rekan-rekan atau tetangga-tetangga yang membutuhkan. Untuk urusan pribadi, beliau selalu memakai kendaraan pribadi, sebuah sepeda motor tua keluaran tahun 1990-an.
Prinsip itu beliau pegang teguh sampai sekarang. Bahkan, mobil yang sama pernah bertualang sampai ke luar pulau karena dipinjam warga yang membutuhkan. Beliau yang memilih untuk mengalah, pergi ke kantor naik kendaraan lain. Saat saya bertanya mengapa beliau mengizinkan mobil ini dibawa ke luar pulau, Ustadz Swi Budi tersenyum dan balik bertanya, “Lha, memang mobil itu milik siapa? Kan, bukan milik keluarga saya…”
Sebulan setelah gempa, kondisi mulai membaik, tetapi masih banyak yang harus dilakukan. Semua kader dan simpatisan PKS Kota Yogyakarta yang tidak tertimpa musibah, wajib bergerak ke Bantul dan membantu proses recovery warga. Praktis, kami beristirahat sekenanya. Bahkan, kadang harus mencuri-curi waktu seperti selepas shalat malam itu.
Saya hendak ikut berbaring di atas tikar bersama teman-teman, tetapi melihat Ustadz Dwi Budi masih duduk-duduk di mushala. Akhirnya, saya mengurungkan niat untuk istirahat dan memutuskan untuk mengobrol bersama beliau. Namun, sepertinya kondisi ustadz tidak fit. Beliau tidak fokus pada obrolan kami. Ada sesuatu yang mengganggu. Saya mengira, ada masalah dengan penyaluran bantuan di Bantul.
“Nggak, nggak apa-apa, kok. Semua lancar,” jawab Ustadz Dwi Budi saat saya tanya.
Saya mengangguk dan kami kembali bercakap-cakap. Tapi lagi, ustadz sepertinya terganggu dengan sesuatu. Akhirnya, saya bertanya lagi, kali ini menanyakan apakah ada keluarga beliau yang sakit.
Kembali beliau menjawab tidak. Istri dan Aisyah, putri beliau, sehat.
Saya mengagguk lagi. Kali ini, kami saling berdiam diri. Saya bingung harus berkata apa, sedangkan Ustadz Dwi Budi sepertinya enggan berkata-kata. Akhirnya, beliau yang memecah keheningan dengan balik bertanya kepada saya “Apa Yoga pernah tahu kalau saya memakai mobil sedan itu untuk mengantar anak?”
Saya bengong, tidak terlalu nyambung dengan pertanyaan beliau. Ustadz pun menunjuk pada mobil yang parkir di jalan depan kantor DPD.
Saya menggeleng. “Memang kenapa, Ustadz?”
“Nggak…” Beliau kembali terdiam, tetapi kali ini tidak lama. “Tadi ada tetangga yang silaturahim ke rumah. Beliau bercerita kalau ada temannya yang mengatakan bahwa saya ini sering memakai mobil sedan itu untuk keperluan keluarga. Untuk antar anak. Nggak Cuma sekalu-dua kali, tapi sering…” Beliau terdiam lagi. Raut wajahnya terlihat keruh, “Padahal seingat saya, kok, saya tidak pernah, ya, pakai mobil sedan itu untuk keperluan keluarga…”
Saya ikut terdiam dan berpikir keras. Kapan, ya, saya pernah melihat ustadz memakai mobil untuk mengantar anak? Setelah lama berpikir dan tidak menemukan jawaban, saya akhirnya bertanya lagi.
“Lha, temannya tetangga itu melihat Ustadz mengantar Aisyah ke mana?”
Ustadz Dwi Budi terdiam lama, semakin termangu mendengar pertanyyan saya. Beliau kemudian mengeluarkan telepon genggam. Dari percakapan yang kemudian terjadi, saya menangkap beliau menghubungi sang bapak tetangga dan menanakan secara rinci cerita temannya.
Saat Ustadz terdiam dan mendengarkan dengan serius. Tiba-tiba, beliau tertawa.beliau bercakap-cakap beberapa saat dengan sang tetangga sebelum akhirnya menutup telepon dan menatap saya.
Seulas senyum tersungging di bibir.
“Alhamdulillah, masalahnya selesai.” Beliau kemudian menjelasakan. “Ternyata, teman tetangga saya melihat mobil sedan itu di sebuah SD. Mengantar anak yang sekolah di sana, katanya. Nggak mungkin yang pakai saya, wong Aisyah blm sekolah. paling mobil itu sedang dipinjam orang lain.” Beliau tertawa kecil. “Sudah, masalah sudah selesai. Sekarang, bisa tidur. Ayo, istirahat dulu. Nanti kerja lagi.”
Beliau lalu membaringkan diri di lantai mushala. Sesaat kemudian, beliau sudah tertidur dengan seulas senyum masih tersungging di bibir.
Tentu, Anda heran dengan kebingungan Ustadz Dwi Budi atas masalah sepele ini. Mobil sedan untuk mengantar anak seharusnya bukan persoalan besar. Namun, bagi Ustadz Dwi Budi, ini menjadi masalah serius.
Dwi Budi Utomo adalah Wakil ketua DPRD Kota Yogyakarta dari PKS. Mobil sedan yang ia maksud adalah mobil dinas Wakil Ketua DPRD Yogyakarta. Saat menerima mobil dinas itu, Ustadz Dwi Budi berjanji pada dirinya sendiri untuk memakai mobil itu hanya untuk urusan-urusan dinas.
Beliau tidak akan pernah memakai mobil itu untuk masalah-masalah pribadi, terlebih untuk “sekedar” mengantar anak. Kalau tidak sedang digunakan untuk keperluan dinas, mobil itu bebas dipinjam oleh rekan-rekan atau tetangga-tetangga yang membutuhkan. Untuk urusan pribadi, beliau selalu memakai kendaraan pribadi, sebuah sepeda motor tua keluaran tahun 1990-an.
Prinsip itu beliau pegang teguh sampai sekarang. Bahkan, mobil yang sama pernah bertualang sampai ke luar pulau karena dipinjam warga yang membutuhkan. Beliau yang memilih untuk mengalah, pergi ke kantor naik kendaraan lain. Saat saya bertanya mengapa beliau mengizinkan mobil ini dibawa ke luar pulau, Ustadz Swi Budi tersenyum dan balik bertanya, “Lha, memang mobil itu milik siapa? Kan, bukan milik keluarga saya…”
(W.D. Yoga)
Kalau yg ketahuan bawa mobil dinas waktu kampanye kemaren gimana Mas? Sebagai simpatisan saya kecewa banget lho...
BalasHapus